Jumat, 22 Maret 2013

AL KINDI (Tokoh Filosof Muslim)


1.        Sejarah Hidup
Al-Kindi adalah keturunan suku Kindah, Arab Selatan, yang termasyhur¹. Dan dipandang sebagai seorang filosof Islam pertama yang mula lahir dalam dunia Islam. Namun demikian, pengetahuan  mengenai sirahnya ( riwayat hidup ) sampai kini masih terbatas sekali, bahkan tahun lahir dan wafatnya tidak diketahui dengan pasti. Ia dikenal sebagai seorang filosof Islam yang bergelar “Filosof Arab” atau “filosof Arab dan anak para rajanya”. Hal ini karena ia adalah satu-satunya filosof Islam dari keturunan Arab asli yang bermoyang pada Ya’kub ibn Qahthan yang bermukim dikawasan Arab Selatan. Dari itu nama dan nasabnya dalam islam adalah Abu Yusuf ibn Ishak ibn Ash-Shabah ibn Imran ibn Ismail ibn Muhammad  ibn al-Asy’ats ibn Qais....dan berakhir pada Ya’kub ibn Qahthan. Ayahnya Ishak ibn ash-Shabah, pernah menjadi amir (gubernur) di Kuffah pada zaman Khalifah Mahdi dan harun al-Rasyid, sedangkan nenek moyangnya adalah raja-raja Arab yang berkuasa diwilayah Kindah dan sekitarnya yang terletak dikawasan Semananjung Tanah Arab bagian selatan dalam zaman pra-Islam².
Tahun kelahirannya diduga pada masa-masa terakhir dari  kehidupan ayahnya yang meninggal pada zaman Khalifah Harun al-Rasyid. Khalifah ini meninggalpada tahun 193 H. / 808 M. Jadi, kira-kira sekitar permulaan permulaan abad kesembilan Masehiatau sekitar tahun 185 H./801 M.  Mengenai tahun kematian al-Kindi terdapat perbedaan pendapat. L. Massignon atas bukti yang sangat sedikit mengatakan tahun 246 H./860 M. Lihat bukunya Recueil des textes inedist concernant I’histoire de la mystique, Paris . sebaliknya C.N. Nallinomemberikan tahun 260 H./873 M. Al-Jahidz menulis bukunya sekitar tahun 254 H./868 M, tesisnya didasarkan atas bukti internal dalam karya al-Kindi Tentang Lamanya Pemerintahan Bangsa Arab dan suatu referensi dalam salah satu buku al-Jahidz kitab al-Bukhala dimana al-Jahidz menunjuk al-Kindi dalam bentuk lampau.3
 

1.   George N. Atiyeh, Rawalpidi. AL-KINDI (Tokoh Filosof Muslim). Bandung. 1966. Hal : 5
2.   Dr. Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Bandung. 1992. Hal : 9
3.   George N. Atiyeh, Rawalpidi. AL-KINDI (Tokoh Filosof Muslim). Bandung. 1966. Hal : 14



Mengenai pendidikannya diwaktu kecil dan juga guru-gurunya yang telah mengajar ilmu pengetahuan, sampai kini tidak diketahui dengan jelas. Tapi ada riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah tinggal di Basrah dan belajar di Baghdad. Namun demikian, al-Kindi adalah seorang yang cerdas dan pandai serta memiliki pengetahuan yang luas. Kecuali itu, ia dihargai oleh penguasa atau khalifah sebagai keturuan raja, sehingga ia dengan mudah bekerja Istana Baghdad. Karena keberhasilan dalam tugasnya serta keluasa pengetahuannya, ia telah memperoleh kedudukan yang semakin menanjak da sangat dihormati oleh Khalifah Ma’mun dan al-Mu’tashim. Malah ia pernah diangkat sebagai guru istana oleh khalifah Mu’tashim untuk mengajar anaknya, Ahmad ibn Mu’tashim, yang kemudian menjadi pengganti ayahnya menjadi Khalifah di Baghdad.

2.      Karya-karyanya
Karya-karya ilmiah al-Kindi jauh lebih banyak dengan karya-karya filsafatnya. Sebenarnya banyak peneliti yang menganggap al-Kindi hanya sebagai seorang ilmuwan, dan bukan sebagai seorang filosof. Mereka merujuk kepada jumlah besar karya-karya yang ditulisnya mengenai masalah-masalah ilmiah untuk mendukung pendapat mereka. Dalam kitab al-Fihrist , ibn Nadim mengelompokkan kitab-kitab al-Kindi dalam 17 bab , yaitu :

1.      Fisafat
2.      Logika
3.      Ilmu hitung
4.      Sferika
5.      Musik
6.      Astronomi
7.      Geometri
8.      Sfera-sfera langit
9.      Ilmu pengobatan
10.  Astrologi
11.  Tulisan-tulisan polemik
12.  Psikologi
13.  Politik
14.  Meteorologi
15.  Kebesaran (magnitude)
16.  Ramalan
17.  Aneka ragam




4.    Dr. Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Bandung. 1992. Hal : 9
5.   George N. Atiyeh, Rawalpidi. AL-KINDI (Tokoh Filosof Muslim). Bandung. 1966. Hal : 141


Diantara karyanya yaitu:
1)       Kitab al-Qaul fî al-Nafs,
2)      Kalam fî al-Nafs,
3)      al-Naum wa al-Ru’yâ (Substansi Tidur dan Mimpi),
4)      Fî al-‘Aql,
5)      al-HÎlah li Daf‘i al-Ahzân (Kiat Melawan Kesedihan),
6)      Kitâb al-Kindi ilâ al-Mu‘tashim Billah fî al-Falsafah al-Ûlâ
7)      Kitâb fî Annahû lâ Tanâlu al-Falsafah Illâ bi al-‘Ilm al-Riyâdhiyyah (Tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika)
8)       Kitâb al-Falsafah al-Dâkhilah al Masâ’il al-Manthîqiyyah wa al-Muqtashshah wa Mâ Fauqa al-Thabi‘iyaah (tentang filsafat yang diperkenalkan, logika, dan metafisika), dan banyak lagi yang lainnya.

3.      Pemikiran Al-Kindi
1.      Agama dan falsafah
Masalah hubungan agama dan fsalsafah merupakan salah satu masalah yang diperdebatkan dalm zaman al-Kindi. Ahli-ahli agama pada umumnya menolak keabsahan ilmu falsafah karena diantara produk pemikiran falsafi jelas menunjukkan pertentangannya dengan ajaran al-Qu’an. Sebagai fialasuf Islam, al-Kindi telah mengangkat dirinya sebagai pebela ilmu falsafah tehadap serangan yang datang dari berbagai pihak yang tidak setuju. Baginya, agama dan falsafah tidaklah harus dipertentangka karena keduanya membawa kebenaran yang serupa.
Ilmu falsafah kata al-Kindi adalah “ilmu tentang hakikat segala sesuatu yang dipelajari orang menurut kadar kemampuannya”. Justru karena itu, ilmu falsafah adalah ilmu yang paling tinggi martabat dan tingkatnya dibanding dengan berbagai ilmu lain yang hanya berminat pada membahas fenomena dan sifat-sifat lahiriah dari sesuatu sasaran kajian.
Adpun ilmu-ilmu yang termasuk dalam bidang filsafah adalah : ilmu ketuhanan (rububiyyah), ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), dan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan menghidarkannya dari kerugian dan kesengsaraan. Namun, tidak semua ilmu tesebut menduduki tingkat yang serupa dalam kepentingan dan martabat karena perbedaan sasaran pembahasannya. Dari itu, bagian yang paling penting dan tinggi martabat adalah ilmu ketuhanan yang disebut oleh al-Kindi sebagai “falsafah pertama” (falsafah al-‘ula). Sebabnya ialah karena “ falsafah pertama” adalah adalh ilmu yang membahas kebenaran pertama (ilmu ‘l-haqqi’l-awwal) yang merupakan sebab bagi semua kebenaran.Dari itu, al-Kindi menegaskan bahwa mempelajari ilmu “falsafah pertama” ini akan membuat seseoarang filosof semakin lebih sempurna, kaarena pengetahuan seseoarng tentang “sebab” jauh lebih mullia daripada pengetahuannya tentang “ akibat” (ma’lul).
Oleh karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Berikut ini alasan rinci keselarasan antara agama dengan akal:
a.       Ilmu agama merupakan bagian dari ilmu filsafat.
b.      Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhamad Saw dan kebenaran filsafat    saling berkesesuaian.
c.        Menuntut ilmu dengan memakai logika diperintahkan oleh agama.
Kebenaran pertama adalah tuhan, maka filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat tentang ketuhanan.
Demikianlsah pemikiran al-Kindi tentang arti dan maksud ilmu falsafah. Oleh karena itu, antara agama dan falsafah tidak mungkin timbul pertentangan, karena masing-masing keduanya mengandung  dalam dirinya kebenaran yang meyakinkan. Agama bukanlah suatu ajaran yang tidak bisa dipahami oleh akal.

2.         Metafisika
Pemikiran al-Kindi tentang ketuhanan telah dijelaskan dalam berbagai kitabnya, terutama dalam kitab fil al-falsafah al-Ula dan juga kitab
Mengenai Ketuhanan, bagi al-Kindi, Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak termasuk dalam arti aniah atau mahiah. Tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada di alam, bahkan Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah karena Tuhan bukan merupakan genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengan Dia. Ia adalah al-Haq al-Awwal dan al-Haq al-Wâhid.
Dalam hal pembuktian adanya Tuhan, al-Kindi mengemukakan dalil-dalil empiris sebagai berikut:
a. Dalil baharu alam (Shifat al-Hudûts).
Bagi al-Kindi, keterbatasan waktu dan gerak merupakan petunjuk terhadap bermulanya dunia dalam waktu (hudûts). Realitas dunia ini tidak mungkin dengan sendirinya menjadi tanda adanya tuhan sebab kehadiran suatu realitas pasti ada sebab yang mendahuluinya. Dunia ini pun demikian, halnya, baik dari segi jisim, gerak maupun segi zaman. Ketiga segi ini tidak dapat saling mendahului dalam wujud, semuanya ada secara bersamaan. Alasan inilah yang menjadikan al-Kindi berkesimpulan bahwa dunia ini baharu dan ada penciptanya (muhdits).
b. Dalil Keragaman dan kesatuan
Sebagai pencipta dunia, sifat Tuhan yang utama adalah Esa (unity). Jika pencipta lebih dari satu, maka masing-masing sekutunya akan membagi karakteristik yang umum dengan yang lain dan antara mereka harus dibedakan dengan beberapa sifat. Akibatnya, pencipta ini haruslah merupakan gabungan. Tetapi sebagai gabungan mesti memerlukan “agen penggabung” karena itu, pencipta dunia haruslah merupakan penyebab yang sebelum ini. Selain itu, wujud seperti itu haruslah tidak bersebab karena sebagai sebab dari segala sesuatu, ia hanya dapat disebabkan oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, Wujud Pertama harus lebih unggul dari segala sesuatu yang lain dan tidak bersekutu dengan sesuatu yang diciptakan. Jadi, ia harus memiliki keesaan, terlepas dari segala keanekaan, susunan, atau korelasi dengan yang lain.
c. Dalil pengendalian alam
Mengenai kekuasaan Tuhan dan kebijaksanaan-Nya apabila direnungkan, kita dipenuhi rasa kagum karena begitu rasional dan harmonis penataan alam semesta ini. Keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pengaturnya di belakang semua keteraturan ini. Dialah Sang Pencipta Allah Swt.

3.    Fisika (kosmologi)
Mengenai hal ini, al-Kindi berpendapat bahwa alam ini diciptakan dari asalnya tiada menjadi ada. Alah tidak hanya menciptakannya saja tetapi juga mengendalikan dan mengaturnya serta menjadikan sebagian yang lain sebab yang lainnya. Dalam alam ini terdapat gerak menjadikan dan gerak merusak (al-Kaun wa al-Fasâd). Dalam bukunya, al-Ibânah, al-Kindi menyebutkan sebab gerak apabila terhimpun empat sebab (‘ìllat), yaitu: sebab material (al-Unshûriyyah), sebab bentuk (al-Shûriyyah), Sebab pembuat (al-Fâ‘ilah), baik yang bersifat dekat maupun jauh, dan sebab tujuan atau manfaat (al-Tammiyyah).

4.    Tentang Jiwa (al-Nafs)
Di dalam al-Qur’an disebutkan
فإذا سويته و نفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين (ص:72)
“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Q.S Shad: 72)
Apakah yang ruh yang Allah Swt tiupkan ke dalam tubuh makhluknya itu merupakan tiupan ruh yang meninggalkan tuhan dan kemudian bersatu dengan manusia;intinya terjadi pembelahan sifat tuhan? Hal ini sungguh tidak akan pernah terjadi sebagaimana firman Allah swt:
ليس كمثله شيئ و هو السميع البصير
(الشورى42: 11)
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Al-Syûrâ 42: 11)
Jika tuhan seperti halnya pertanyaan di atas, maka tuhan tidak ada bedanya dengan matahari, sedangkan matahari adalah makhluk. Adalah benar jika matahari berkata,”Aku telah memberikan sinarku pada bumi”, sinar yang dipancarkan ke bumi merupakan bagian dari matahri itu sendiri. Adapun Allah Swt, sesungguhnya Dia Maha Suci dari penyamaan-Nya dengan makhluk.
al-Kindi mendefinisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik, atau kesempurnaan fisik alami yang memiliki alat dan mengalami kehidupan.
Jiwa akan tetap kekal setelah kematian. Ia pindah ke alam kebenaran yang di dalamnya terdapat nûr Sang Pencipta. Di tempat itu, ia ia sangat dekat dengan Sang Pencipta sehinnga mampu mengetahui segala hal, yaitu mengetahui setiap yang nyata dan bukan nyata, rahasia atau bukan rahasia.

5.      TentangPerbuatan
Dalam hal ini, Al-Kindi berpendapat sebagaimana yang dipegang oleh Mu‘tazilah, yaitu tawallud. Istilah Tawallud berkaitan dengan perbuatan hamba, bahwasanya perbuatan itu terbagi dua. Pertama, perbuatan langsung yang merupakan perbuatan yang secara primer mengakibatkan suatu tindakan. Kedua, perbuatan tidak langsung yang merupakan unsur sekunder (al-Af‘âl al-Mutwallidah).
Abu Hudzail al-‘Allaf mengatakan bahwa perbuatan yang timbul (tawallud) yang diketahui prosesnya, baik itu di luar maupun di dalam diri kita merupakan perbuatan kita. Sedangkan perbuatan yang prosesnya tidak diketahui prosesnya seperti panas, dingin, warna, dan rasa merupakan perbuatan-perbuatan Allah.

6.      Daya-daya manusia
a.       Daya mengindera
Daya ini ada alatnya yang berwujud pancaindera. Ia menanggapi bentuk-bentuk objek indrawi yang merupakan muatan dalam materinya. Tapi, ia tidak mampu meragkaikan bentuk-bentuk tersebut, seperti halnya penglihatan yang tidak mampu membuat orang mengetahui adanya insan yang mempunyai tanduk atau ekor atau lainnya yang dimiliki oleh manusia secara alamiah.
Jadi, penginderaan dan yang diindrawi adalah suatu kesatuan dalam jiwa dan “semua yang diindrawi itu selalu mempunyai materi”. Dan bentuk materi-materi yang parsial itu sajalah yang terletak dibawah pengamatan indra.
b.      Daya membentuk (al-Mushawwirah)
Daya membentuk ialah “suatu daya yang membuat atau megadakan bentuk-bentukparsial dari sesuatu tanpa materi, yakni dengan meghilangkan menghilngkan materi dari panca indera kita”.
c.       Daya menyimpan (al-Hafizhah)
Daya ini menyimpan atau memelihara bentuk-bentuk yang disampaikan oleh daya membentuk.
d.      Daya marah (al-Ghadhabiyyah)
Daya ini dissebut juga oleh al-Kindi sebagai daya mengalahkan ( al-Quwwah al-galabiyyah), yakni yang menggerakkan manusia sewaktu-waktu, sehingga ia terdorong untuk melakukan hal-hal yang benar. Daya yang membuata manusia marah bukan jiwa itu sendiri yang mencegah orang menuruti kehendaknya.
e.       Daya keinginan (al-Syahnawiyyah)
Daya ini mendorong manusia sewaktu-waktu untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu. Daya ini juga bukan jiwa karena jiwa kadang-kadang menghalanginya memperoleh keinginannya. Sudah jelas bahwa penghalang bukan apa yang dihalangi karena tidak mungkin sesuatu menentang dirinya.
Adapun daya makan dan daya tumbuh, al-Kindi tidak menjelaskannya, dan tampaknya pendapatnya dalam hal ini tidak berbeda dengan Aristoteles.
f.       Daya memikir (al-‘Aqliyyah)
Daya ini berfungsi untuk mengetahuai bentuk-bentuk sesuatu yang terlepas dari materi, yakni bentuk-bentuk yang abstrak. Artinya mengetahui jenis dan macamnya (species dan differentia), tidak bentuk parsial. Juga ia dapat mengetahui prisip atau kaidah ilmu, seperti setiap peristiwa tertentu ada sebabnya, dan dua hal yang berlawanan  tidak akan didapati pada satu tempat pada waktu yang sama.
Al-Kindi membagi daya ini atau akal menjadi empat bagian, yaitu :
Ø  Akal aktif
Ø  Akal potensial
Ø  Akal yang beraliah dari potensial ke aktual
Ø  Akal lahir
Yang dimaksud al-Kindi dengan akal aktif adalah serupa dengan sebab pertama dalam konsepsim Aristoteles, yakni  Tuhan. Akal ini senantiasa dalam keadaan aktifkarena ia sebab bagi apa yang terjadi pada jiwa pada manusia khususnya dan pada alam ini umumnya.
Adapun tiga akal yang lain, maka ia adalah jiwa itu sendiri. Jiwa merupakan “akal potensial” sebelum ia memikirkan objek pemikiran (ma’qulat) dan setelah memiliki objeknya, maka ia beralih menjadi “akal aktual”. Akal dalam keadaan potensial tidak bisa dengan sendirinya menjadi aktual tanpa adanya sebab, dan sebab bagi terjadinya proses itu adalah “akal aktif atau juga disebut “akal pertama” (Tuhan). Jiwa dalam tingkat “akal aktual” telah memiliki dan mengusai objek pemikirannya,sehigga ia dapat menggunakannya kapan ia kehendaki. Dalam hal ini, objek tersebut telah merupakan malakah atau qunyah (habitus) bagi jiwa. Dalm tingkat terakhir, akal disebut “akal lahir” jika ia telah menggunakan malakah tersebut dalam kenyataan. Untuk ini al-Kindi memberi contoh “ menulis” yang terdapat dalam jiwa sebagai bentuk pengetahuan menulis oleh penulis kapan saja ia kehendaki.
Akal ke empat dinamakan juga dengan akal sekunder. Akal sekunder ini mewakili akal pada indera, disebabkan dekatnya indera itu kepada sesuatu yang hidup dan sifatnya yang meliputi sesuatu itu keseluruhannya. Sebab Aristoteles mengatakan bahwa bentuk itu dua macam, salah satu dari keduanya adalah bentuk keadaan (hayulani) yaitu bentuk yang ada pada jangkauan indera. Bentuk lainnya ialah yang tidak termasuk zat hayulani, yaitu bentuk yang beraada dalam jangkauan akal berupa kualitas benda-benda dan yang lbih tinggi dari itu. Sebab bentuk yang ada dalm hayula adalah bentuk secara aktual terinderakan; karena jika tidak secara aktual terinderakan, ia tidak berada dalam jangkauan indera. Sewaktu jiwa menyadari bentuk itu maka bentu itupun ada dalam jiwa.  Jiwa itu menyadarinya hanyalah karena bentuk itu ada dalam jiwa secara potensial. Dan sewaktu jiwa itu bersentuhan dengan bentuk itu, maka bentuk itupun aada dalam jiwa secara aktual.tetapi ia tidak berada dalam dalam jiwa seperti halnya benda dalam bejana ataupun gambar pada barang. Sebab jiwa itu bukanlah bersifaat benda dan tidak pula bersifat terbagi-bagi. Bentuk tersebut dalam jiwa besertq jiwa itu sendiri merupakan sesuatu yang tunggal, tida berlainan dan tidak pula bisa dibedakan karena berbedanya muatan jiwa itu.
Demikianlah pemikiran al-Kindi tetang akal yang jelas menunjukan bahwa sumbernya adalah Aritoteles.
7.      Tentang Pengetahuan
Menurut al-Kindi, pengetahuan tebagi menjadi dua macam, yaitu pengetahuan yang bersifat inderawi dan pengetahuan yang bersifat rasional. Pengetahuan inderawi hanya memahami bentuk lahir dari segala sesuatu. Ia terdapat pada hewan dan manusia. Sedangkan pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang dapat menembus hakikat segala sesuatu. Pengetahuan ini hanya ada pada diri manusia.13

8.   Tentang Tidur dan Mimpi
Al-Kindi mendefinisikan tidur sebagai berikut:
“Tidur adalah membiarkan penggunaan jiwa untuk semua alat indera. Jika kita tidak melihat, tidak mendengar, tidak meraba, dan sebagainya, tanpa sebab penyakit yang biasa dan kita dalam keadaan normal, maka kita disebut sedang tidur”
Tidur sangat bermanfaat bagi manusia dan hewan karean tidur mempengaruhi anggota tubuh untuk tidak bergerak, membuat pencernaan berfungsi penuh untuk mencerna dan memberi kesempatan badan menyerap makanan yang masuk ke dalamnya serta membantunya menghilangkan kelelahan.
Sedangkan mimpi menurut beliau adalah proses pemanfaatan pikiran oleh jiwa dan proses peniadaan pemanfaatan pikiran oleh indera. Jika manusia tertidur pulas dan fungsi inderanya beristirahat, maka semua hal yang masuk ke dalam pikiran pada saat tidur gambarannya yang bersifat inderawi akan muncul di dalam fantasi (al-Quwwah al-Mushawwarah) dan gambaran inderawi ini akan tampak lebih nyata dan lebih kuat dibanding ketika sadar. Lalu darinya muncul mimpi dan angan-angan.
Al-Kindi berbicara tentang empat masalah mimpi dan menafsirkan sebab-sebab terjadinya. Empat macam mimpi ini adalah:
a. Al-Ru’yâ al-Tanbi’iyyah, yaitu mimpi di mana orang melihat segala sesuatu yang belum terjadi.
b. Al-Ru’yâ al-Ramziyyah, yaitu mimpi di mana orang melihat segala sesuatu yang menunujukkan atas sesuatu yang lain atau melambangkan sesuatu yang lain.
c. Mimpi di mana orang melihat sesuatu yang menunjukkan atas kebalikannya.
d. Mimpi di mana orang melihat sesuatu yang tidak benar.

9.   Tentang Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam pandangan al-Kindi bukanlah dengan mencapai keinginan dan kesukaan yang bersifat inderawi, duniawi, dan artifisial. Tetapi kebahagiaan diperoleh melaui pencapaian keinginan dan kesukaan yang bersifat rasional, baik dalam meneliti, memikirkan, membedakan, dan mengenalkan hakikat segala sesuatu

DAFTAR PUSTAKA

George N. Atiyeh, Rawalpindi. AL-KINDI (Tokoh Filosof Muslim). 1966. Bandung : pustaka.
Dr.Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. 1992. Jakarta : PT.  Bulan dan Bintang.
Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. 1994. Jakarta : Bulan Bintang.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda