AL KINDI (Tokoh Filosof Muslim)
1.
Sejarah
Hidup
Al-Kindi
adalah keturunan suku Kindah, Arab Selatan, yang termasyhur¹. Dan dipandang
sebagai seorang filosof Islam pertama yang mula lahir dalam dunia Islam. Namun
demikian, pengetahuan mengenai sirahnya
( riwayat hidup ) sampai kini masih terbatas sekali, bahkan tahun lahir dan
wafatnya tidak diketahui dengan pasti. Ia dikenal sebagai seorang filosof Islam
yang bergelar “Filosof Arab” atau “filosof Arab dan anak para rajanya”. Hal
ini karena ia adalah satu-satunya filosof Islam dari keturunan Arab asli yang
bermoyang pada Ya’kub ibn Qahthan yang bermukim dikawasan Arab Selatan. Dari
itu nama dan nasabnya dalam islam adalah Abu Yusuf ibn Ishak ibn Ash-Shabah ibn
Imran ibn Ismail ibn Muhammad ibn
al-Asy’ats ibn Qais....dan berakhir pada Ya’kub ibn Qahthan. Ayahnya Ishak ibn
ash-Shabah, pernah menjadi amir
(gubernur) di Kuffah pada zaman Khalifah Mahdi dan harun al-Rasyid, sedangkan
nenek moyangnya adalah raja-raja Arab yang berkuasa diwilayah Kindah dan
sekitarnya yang terletak dikawasan Semananjung Tanah Arab bagian selatan dalam
zaman pra-Islam².
Tahun
kelahirannya diduga pada masa-masa terakhir dari kehidupan ayahnya yang meninggal pada zaman
Khalifah Harun al-Rasyid. Khalifah ini meninggalpada tahun 193 H. / 808 M.
Jadi, kira-kira sekitar permulaan permulaan abad kesembilan Masehiatau sekitar
tahun 185 H./801 M. Mengenai tahun
kematian al-Kindi terdapat perbedaan pendapat. L. Massignon atas bukti yang
sangat sedikit mengatakan tahun 246 H./860 M. Lihat bukunya Recueil des textes inedist concernant
I’histoire de la mystique, Paris . sebaliknya C.N. Nallinomemberikan tahun
260 H./873 M. Al-Jahidz menulis bukunya sekitar tahun 254 H./868 M, tesisnya
didasarkan atas bukti internal dalam karya al-Kindi Tentang Lamanya Pemerintahan Bangsa Arab dan suatu referensi dalam
salah satu buku al-Jahidz kitab al-Bukhala
dimana al-Jahidz menunjuk al-Kindi dalam bentuk lampau.3
1. George
N. Atiyeh, Rawalpidi. AL-KINDI (Tokoh Filosof Muslim). Bandung. 1966. Hal : 5
2. Dr.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Bandung. 1992. Hal : 9
3. George
N. Atiyeh, Rawalpidi. AL-KINDI (Tokoh Filosof Muslim). Bandung. 1966. Hal : 14
Mengenai
pendidikannya diwaktu kecil dan juga guru-gurunya yang telah mengajar ilmu
pengetahuan, sampai kini tidak diketahui dengan jelas. Tapi ada riwayat yang
menyebutkan bahwa ia pernah tinggal di Basrah dan belajar di Baghdad. Namun
demikian, al-Kindi adalah seorang yang cerdas dan pandai serta memiliki
pengetahuan yang luas. Kecuali itu, ia dihargai oleh penguasa atau khalifah
sebagai keturuan raja, sehingga ia dengan mudah bekerja Istana Baghdad. Karena
keberhasilan dalam tugasnya serta keluasa pengetahuannya, ia telah memperoleh
kedudukan yang semakin menanjak da sangat dihormati oleh Khalifah Ma’mun dan
al-Mu’tashim. Malah ia pernah diangkat sebagai guru istana oleh khalifah
Mu’tashim untuk mengajar anaknya, Ahmad ibn Mu’tashim, yang kemudian menjadi
pengganti ayahnya menjadi Khalifah di Baghdad.
2.
Karya-karyanya
Karya-karya
ilmiah al-Kindi jauh lebih banyak dengan karya-karya filsafatnya. Sebenarnya
banyak peneliti yang menganggap al-Kindi hanya sebagai seorang ilmuwan, dan
bukan sebagai seorang filosof. Mereka merujuk kepada jumlah besar karya-karya
yang ditulisnya mengenai masalah-masalah ilmiah untuk mendukung pendapat
mereka. Dalam kitab al-Fihrist , ibn
Nadim mengelompokkan kitab-kitab al-Kindi dalam 17 bab
, yaitu :
1. Fisafat
2. Logika
3. Ilmu
hitung
4. Sferika
5. Musik
6. Astronomi
7. Geometri
8. Sfera-sfera
langit
9. Ilmu
pengobatan
10. Astrologi
11. Tulisan-tulisan
polemik
12. Psikologi
13. Politik
14. Meteorologi
15. Kebesaran
(magnitude)
16. Ramalan
17. Aneka
ragam
4. Dr. Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam.
Bandung. 1992. Hal : 9
5. George
N. Atiyeh, Rawalpidi. AL-KINDI (Tokoh Filosof Muslim). Bandung. 1966. Hal : 141
Diantara karyanya yaitu:
1) Kitab al-Qaul fî al-Nafs,
2) Kalam fî
al-Nafs,
3) al-Naum wa
al-Ru’yâ (Substansi Tidur dan Mimpi),
4) Fî al-‘Aql,
5) al-HÎlah li
Daf‘i al-Ahzân (Kiat Melawan Kesedihan),
6) Kitâb
al-Kindi ilâ al-Mu‘tashim Billah fî al-Falsafah al-Ûlâ
7) Kitâb fî
Annahû lâ Tanâlu al-Falsafah Illâ bi al-‘Ilm al-Riyâdhiyyah (Tentang filsafat
tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika)
8) Kitâb al-Falsafah al-Dâkhilah al Masâ’il
al-Manthîqiyyah wa al-Muqtashshah wa Mâ Fauqa al-Thabi‘iyaah (tentang filsafat
yang diperkenalkan, logika, dan metafisika), dan banyak lagi yang lainnya.
3.
Pemikiran
Al-Kindi
1. Agama
dan falsafah
Masalah
hubungan agama dan fsalsafah merupakan salah satu masalah yang diperdebatkan
dalm zaman al-Kindi. Ahli-ahli agama pada umumnya menolak keabsahan ilmu
falsafah karena diantara produk pemikiran falsafi jelas menunjukkan
pertentangannya dengan ajaran al-Qu’an. Sebagai fialasuf Islam, al-Kindi telah
mengangkat dirinya sebagai pebela ilmu falsafah tehadap serangan yang datang
dari berbagai pihak yang tidak setuju. Baginya, agama dan falsafah tidaklah
harus dipertentangka karena keduanya membawa kebenaran yang serupa.
Ilmu
falsafah kata al-Kindi adalah “ilmu tentang hakikat segala sesuatu yang
dipelajari orang menurut kadar kemampuannya”. Justru karena itu, ilmu falsafah
adalah ilmu yang paling tinggi martabat dan tingkatnya dibanding dengan
berbagai ilmu lain yang hanya berminat pada membahas fenomena dan sifat-sifat
lahiriah dari sesuatu sasaran kajian.
Adpun
ilmu-ilmu yang termasuk dalam bidang filsafah adalah : ilmu ketuhanan (rububiyyah), ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), dan ilmu-ilmu yang bermanfaat
bagi manusia dan menghidarkannya dari kerugian dan kesengsaraan. Namun, tidak
semua ilmu tesebut menduduki tingkat yang serupa dalam kepentingan dan martabat
karena perbedaan sasaran pembahasannya. Dari itu, bagian yang paling penting
dan tinggi martabat adalah ilmu ketuhanan yang disebut oleh al-Kindi sebagai
“falsafah pertama” (falsafah al-‘ula).
Sebabnya ialah karena “ falsafah pertama” adalah adalh ilmu yang membahas
kebenaran pertama (ilmu ‘l-haqqi’l-awwal)
yang merupakan sebab bagi semua kebenaran.Dari itu, al-Kindi menegaskan bahwa
mempelajari ilmu “falsafah pertama” ini akan membuat seseoarang filosof semakin
lebih sempurna, kaarena pengetahuan seseoarng tentang “sebab” jauh lebih mullia
daripada pengetahuannya tentang “ akibat” (ma’lul).
Oleh karena
itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah
bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi.
Berikut ini alasan rinci keselarasan antara agama dengan akal:
a. Ilmu agama
merupakan bagian dari ilmu filsafat.
b. Wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhamad Saw dan kebenaran filsafat saling berkesesuaian.
c.
Menuntut ilmu
dengan memakai logika diperintahkan oleh agama.
Kebenaran pertama adalah tuhan, maka filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat tentang ketuhanan.
Kebenaran pertama adalah tuhan, maka filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat tentang ketuhanan.
Demikianlsah
pemikiran al-Kindi tentang arti dan maksud ilmu falsafah. Oleh karena itu,
antara agama dan falsafah tidak mungkin timbul pertentangan, karena
masing-masing keduanya mengandung dalam
dirinya kebenaran yang meyakinkan. Agama bukanlah suatu ajaran yang tidak bisa
dipahami oleh akal.
2.
Metafisika
Pemikiran
al-Kindi tentang ketuhanan telah dijelaskan dalam berbagai kitabnya, terutama
dalam kitab fil al-falsafah al-Ula dan
juga kitab
Mengenai Ketuhanan, bagi al-Kindi,
Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Tuhan dalam
filsafat al-Kindi tidak termasuk dalam arti aniah atau mahiah. Tidak aniah
karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada di alam, bahkan Ia
adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan tidak
mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah karena Tuhan bukan merupakan genus atau
spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengan Dia. Ia adalah
al-Haq al-Awwal dan al-Haq al-Wâhid.
Dalam hal pembuktian adanya Tuhan, al-Kindi mengemukakan dalil-dalil empiris sebagai berikut:
a. Dalil baharu alam (Shifat al-Hudûts).
Bagi al-Kindi, keterbatasan waktu dan gerak merupakan petunjuk terhadap bermulanya dunia dalam waktu (hudûts). Realitas dunia ini tidak mungkin dengan sendirinya menjadi tanda adanya tuhan sebab kehadiran suatu realitas pasti ada sebab yang mendahuluinya. Dunia ini pun demikian, halnya, baik dari segi jisim, gerak maupun segi zaman. Ketiga segi ini tidak dapat saling mendahului dalam wujud, semuanya ada secara bersamaan. Alasan inilah yang menjadikan al-Kindi berkesimpulan bahwa dunia ini baharu dan ada penciptanya (muhdits).
b. Dalil Keragaman dan kesatuan
Sebagai pencipta dunia, sifat Tuhan yang utama adalah Esa (unity). Jika pencipta lebih dari satu, maka masing-masing sekutunya akan membagi karakteristik yang umum dengan yang lain dan antara mereka harus dibedakan dengan beberapa sifat. Akibatnya, pencipta ini haruslah merupakan gabungan. Tetapi sebagai gabungan mesti memerlukan “agen penggabung” karena itu, pencipta dunia haruslah merupakan penyebab yang sebelum ini. Selain itu, wujud seperti itu haruslah tidak bersebab karena sebagai sebab dari segala sesuatu, ia hanya dapat disebabkan oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, Wujud Pertama harus lebih unggul dari segala sesuatu yang lain dan tidak bersekutu dengan sesuatu yang diciptakan. Jadi, ia harus memiliki keesaan, terlepas dari segala keanekaan, susunan, atau korelasi dengan yang lain.
c. Dalil pengendalian alam
Mengenai kekuasaan Tuhan dan kebijaksanaan-Nya apabila direnungkan, kita dipenuhi rasa kagum karena begitu rasional dan harmonis penataan alam semesta ini. Keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pengaturnya di belakang semua keteraturan ini. Dialah Sang Pencipta Allah Swt.
Dalam hal pembuktian adanya Tuhan, al-Kindi mengemukakan dalil-dalil empiris sebagai berikut:
a. Dalil baharu alam (Shifat al-Hudûts).
Bagi al-Kindi, keterbatasan waktu dan gerak merupakan petunjuk terhadap bermulanya dunia dalam waktu (hudûts). Realitas dunia ini tidak mungkin dengan sendirinya menjadi tanda adanya tuhan sebab kehadiran suatu realitas pasti ada sebab yang mendahuluinya. Dunia ini pun demikian, halnya, baik dari segi jisim, gerak maupun segi zaman. Ketiga segi ini tidak dapat saling mendahului dalam wujud, semuanya ada secara bersamaan. Alasan inilah yang menjadikan al-Kindi berkesimpulan bahwa dunia ini baharu dan ada penciptanya (muhdits).
b. Dalil Keragaman dan kesatuan
Sebagai pencipta dunia, sifat Tuhan yang utama adalah Esa (unity). Jika pencipta lebih dari satu, maka masing-masing sekutunya akan membagi karakteristik yang umum dengan yang lain dan antara mereka harus dibedakan dengan beberapa sifat. Akibatnya, pencipta ini haruslah merupakan gabungan. Tetapi sebagai gabungan mesti memerlukan “agen penggabung” karena itu, pencipta dunia haruslah merupakan penyebab yang sebelum ini. Selain itu, wujud seperti itu haruslah tidak bersebab karena sebagai sebab dari segala sesuatu, ia hanya dapat disebabkan oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, Wujud Pertama harus lebih unggul dari segala sesuatu yang lain dan tidak bersekutu dengan sesuatu yang diciptakan. Jadi, ia harus memiliki keesaan, terlepas dari segala keanekaan, susunan, atau korelasi dengan yang lain.
c. Dalil pengendalian alam
Mengenai kekuasaan Tuhan dan kebijaksanaan-Nya apabila direnungkan, kita dipenuhi rasa kagum karena begitu rasional dan harmonis penataan alam semesta ini. Keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pengaturnya di belakang semua keteraturan ini. Dialah Sang Pencipta Allah Swt.
3. Fisika
(kosmologi)
Mengenai hal
ini, al-Kindi berpendapat bahwa alam ini diciptakan dari asalnya tiada menjadi
ada. Alah tidak hanya menciptakannya saja tetapi juga mengendalikan dan
mengaturnya serta menjadikan sebagian yang lain sebab yang lainnya. Dalam alam
ini terdapat gerak menjadikan dan gerak merusak (al-Kaun wa al-Fasâd). Dalam bukunya, al-Ibânah, al-Kindi
menyebutkan sebab gerak apabila terhimpun empat sebab (‘ìllat), yaitu: sebab material (al-Unshûriyyah),
sebab bentuk (al-Shûriyyah), Sebab
pembuat (al-Fâ‘ilah), baik yang
bersifat dekat maupun jauh, dan sebab tujuan atau manfaat (al-Tammiyyah).
4.
Tentang Jiwa (al-Nafs)
Di dalam al-Qur’an disebutkan
فإذا سويته و نفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين (ص:72)
“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Q.S Shad: 72)
Apakah yang ruh yang Allah Swt tiupkan ke dalam tubuh makhluknya itu merupakan tiupan ruh yang meninggalkan tuhan dan kemudian bersatu dengan manusia;intinya terjadi pembelahan sifat tuhan? Hal ini sungguh tidak akan pernah terjadi sebagaimana firman Allah swt:
ليس كمثله شيئ و هو السميع البصير
(الشورى42: 11)
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Al-Syûrâ 42: 11)
Jika tuhan seperti halnya pertanyaan di atas, maka tuhan tidak ada bedanya dengan matahari, sedangkan matahari adalah makhluk. Adalah benar jika matahari berkata,”Aku telah memberikan sinarku pada bumi”, sinar yang dipancarkan ke bumi merupakan bagian dari matahri itu sendiri. Adapun Allah Swt, sesungguhnya Dia Maha Suci dari penyamaan-Nya dengan makhluk.
al-Kindi mendefinisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik, atau kesempurnaan fisik alami yang memiliki alat dan mengalami kehidupan.
Jiwa akan tetap kekal setelah kematian. Ia pindah ke alam kebenaran yang di dalamnya terdapat nûr Sang Pencipta. Di tempat itu, ia ia sangat dekat dengan Sang Pencipta sehinnga mampu mengetahui segala hal, yaitu mengetahui setiap yang nyata dan bukan nyata, rahasia atau bukan rahasia.
Di dalam al-Qur’an disebutkan
فإذا سويته و نفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين (ص:72)
“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Q.S Shad: 72)
Apakah yang ruh yang Allah Swt tiupkan ke dalam tubuh makhluknya itu merupakan tiupan ruh yang meninggalkan tuhan dan kemudian bersatu dengan manusia;intinya terjadi pembelahan sifat tuhan? Hal ini sungguh tidak akan pernah terjadi sebagaimana firman Allah swt:
ليس كمثله شيئ و هو السميع البصير
(الشورى42: 11)
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Al-Syûrâ 42: 11)
Jika tuhan seperti halnya pertanyaan di atas, maka tuhan tidak ada bedanya dengan matahari, sedangkan matahari adalah makhluk. Adalah benar jika matahari berkata,”Aku telah memberikan sinarku pada bumi”, sinar yang dipancarkan ke bumi merupakan bagian dari matahri itu sendiri. Adapun Allah Swt, sesungguhnya Dia Maha Suci dari penyamaan-Nya dengan makhluk.
al-Kindi mendefinisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik, atau kesempurnaan fisik alami yang memiliki alat dan mengalami kehidupan.
Jiwa akan tetap kekal setelah kematian. Ia pindah ke alam kebenaran yang di dalamnya terdapat nûr Sang Pencipta. Di tempat itu, ia ia sangat dekat dengan Sang Pencipta sehinnga mampu mengetahui segala hal, yaitu mengetahui setiap yang nyata dan bukan nyata, rahasia atau bukan rahasia.
5. TentangPerbuatan
Dalam hal ini, Al-Kindi berpendapat sebagaimana yang dipegang oleh Mu‘tazilah, yaitu tawallud. Istilah Tawallud berkaitan dengan perbuatan hamba, bahwasanya perbuatan itu terbagi dua. Pertama, perbuatan langsung yang merupakan perbuatan yang secara primer mengakibatkan suatu tindakan. Kedua, perbuatan tidak langsung yang merupakan unsur sekunder (al-Af‘âl al-Mutwallidah).
Abu Hudzail al-‘Allaf mengatakan bahwa perbuatan yang timbul (tawallud) yang diketahui prosesnya, baik itu di luar maupun di dalam diri kita merupakan perbuatan kita. Sedangkan perbuatan yang prosesnya tidak diketahui prosesnya seperti panas, dingin, warna, dan rasa merupakan perbuatan-perbuatan Allah.
Dalam hal ini, Al-Kindi berpendapat sebagaimana yang dipegang oleh Mu‘tazilah, yaitu tawallud. Istilah Tawallud berkaitan dengan perbuatan hamba, bahwasanya perbuatan itu terbagi dua. Pertama, perbuatan langsung yang merupakan perbuatan yang secara primer mengakibatkan suatu tindakan. Kedua, perbuatan tidak langsung yang merupakan unsur sekunder (al-Af‘âl al-Mutwallidah).
Abu Hudzail al-‘Allaf mengatakan bahwa perbuatan yang timbul (tawallud) yang diketahui prosesnya, baik itu di luar maupun di dalam diri kita merupakan perbuatan kita. Sedangkan perbuatan yang prosesnya tidak diketahui prosesnya seperti panas, dingin, warna, dan rasa merupakan perbuatan-perbuatan Allah.
6. Daya-daya
manusia
a. Daya
mengindera
Daya
ini ada alatnya yang berwujud pancaindera. Ia menanggapi bentuk-bentuk objek
indrawi yang merupakan muatan dalam materinya. Tapi, ia tidak mampu meragkaikan
bentuk-bentuk tersebut, seperti halnya penglihatan yang tidak mampu membuat
orang mengetahui adanya insan yang mempunyai tanduk atau ekor atau lainnya yang
dimiliki oleh manusia secara alamiah.
Jadi,
penginderaan dan yang diindrawi adalah suatu kesatuan dalam jiwa dan “semua
yang diindrawi itu selalu mempunyai materi”. Dan bentuk materi-materi yang
parsial itu sajalah yang terletak dibawah pengamatan indra.
b. Daya
membentuk (al-Mushawwirah)
Daya membentuk ialah
“suatu daya yang membuat atau megadakan bentuk-bentukparsial dari sesuatu tanpa
materi, yakni dengan meghilangkan menghilngkan materi dari panca indera kita”.
c. Daya
menyimpan (al-Hafizhah)
Daya
ini menyimpan atau memelihara bentuk-bentuk yang disampaikan oleh daya
membentuk.
d. Daya
marah (al-Ghadhabiyyah)
Daya
ini dissebut juga oleh al-Kindi sebagai daya mengalahkan ( al-Quwwah al-galabiyyah), yakni yang menggerakkan manusia
sewaktu-waktu, sehingga ia terdorong untuk melakukan hal-hal yang benar. Daya
yang membuata manusia marah bukan jiwa itu sendiri yang mencegah orang menuruti
kehendaknya.
e. Daya
keinginan (al-Syahnawiyyah)
Daya
ini mendorong manusia sewaktu-waktu untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu.
Daya ini juga bukan jiwa karena jiwa kadang-kadang menghalanginya memperoleh
keinginannya. Sudah jelas bahwa penghalang bukan apa yang dihalangi karena
tidak mungkin sesuatu menentang dirinya.
Adapun
daya makan dan daya tumbuh, al-Kindi tidak menjelaskannya, dan tampaknya
pendapatnya dalam hal ini tidak berbeda dengan Aristoteles.
f. Daya
memikir (al-‘Aqliyyah)
Daya
ini berfungsi untuk mengetahuai bentuk-bentuk sesuatu yang terlepas dari
materi, yakni bentuk-bentuk yang abstrak. Artinya mengetahui jenis dan macamnya
(species dan differentia), tidak bentuk parsial. Juga ia dapat mengetahui prisip
atau kaidah ilmu, seperti setiap peristiwa tertentu ada sebabnya, dan dua hal
yang berlawanan tidak akan didapati pada
satu tempat pada waktu yang sama.
Al-Kindi membagi daya
ini atau akal menjadi empat bagian, yaitu :
Ø Akal
aktif
Ø Akal
potensial
Ø Akal
yang beraliah dari potensial ke aktual
Ø Akal
lahir
Yang
dimaksud al-Kindi dengan akal aktif adalah serupa dengan sebab pertama dalam
konsepsim Aristoteles, yakni Tuhan. Akal
ini senantiasa dalam keadaan aktifkarena ia sebab bagi apa yang terjadi pada
jiwa pada manusia khususnya dan pada alam ini umumnya.
Adapun
tiga akal yang lain, maka ia adalah jiwa itu sendiri. Jiwa merupakan “akal
potensial” sebelum ia memikirkan objek pemikiran (ma’qulat) dan setelah memiliki objeknya, maka ia beralih menjadi
“akal aktual”. Akal dalam keadaan potensial tidak bisa dengan sendirinya
menjadi aktual tanpa adanya sebab, dan sebab bagi terjadinya proses itu adalah “akal
aktif atau juga disebut “akal pertama” (Tuhan). Jiwa dalam tingkat “akal
aktual” telah memiliki dan mengusai objek pemikirannya,sehigga ia dapat
menggunakannya kapan ia kehendaki. Dalam hal ini, objek tersebut telah
merupakan malakah atau qunyah (habitus) bagi jiwa. Dalm tingkat terakhir, akal disebut “akal
lahir” jika ia telah menggunakan malakah
tersebut dalam kenyataan. Untuk ini al-Kindi memberi contoh “ menulis” yang
terdapat dalam jiwa sebagai bentuk pengetahuan menulis oleh penulis kapan saja
ia kehendaki.
Akal
ke empat dinamakan juga dengan akal sekunder. Akal sekunder ini mewakili akal
pada indera, disebabkan dekatnya indera itu kepada sesuatu yang hidup dan
sifatnya yang meliputi sesuatu itu keseluruhannya. Sebab Aristoteles mengatakan
bahwa bentuk itu dua macam, salah satu dari keduanya adalah bentuk keadaan
(hayulani) yaitu bentuk yang ada pada jangkauan indera. Bentuk lainnya ialah
yang tidak termasuk zat hayulani, yaitu bentuk yang beraada dalam jangkauan
akal berupa kualitas benda-benda dan yang lbih tinggi dari itu. Sebab bentuk
yang ada dalm hayula adalah bentuk secara aktual terinderakan; karena jika
tidak secara aktual terinderakan, ia tidak berada dalam jangkauan indera.
Sewaktu jiwa menyadari bentuk itu maka bentu itupun ada dalam jiwa. Jiwa itu menyadarinya hanyalah karena bentuk
itu ada dalam jiwa secara potensial. Dan sewaktu jiwa itu bersentuhan dengan
bentuk itu, maka bentuk itupun aada dalam jiwa secara aktual.tetapi ia tidak
berada dalam dalam jiwa seperti halnya benda dalam bejana ataupun gambar pada
barang. Sebab jiwa itu bukanlah bersifaat benda dan tidak pula bersifat terbagi-bagi.
Bentuk tersebut dalam jiwa besertq jiwa itu sendiri merupakan sesuatu yang
tunggal, tida berlainan dan tidak pula bisa dibedakan karena berbedanya muatan
jiwa itu.
Demikianlah
pemikiran al-Kindi tetang akal yang jelas menunjukan bahwa sumbernya adalah
Aritoteles.
7. Tentang
Pengetahuan
Menurut al-Kindi, pengetahuan tebagi menjadi dua macam, yaitu pengetahuan yang bersifat inderawi dan pengetahuan yang bersifat rasional. Pengetahuan inderawi hanya memahami bentuk lahir dari segala sesuatu. Ia terdapat pada hewan dan manusia. Sedangkan pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang dapat menembus hakikat segala sesuatu. Pengetahuan ini hanya ada pada diri manusia.13
Menurut al-Kindi, pengetahuan tebagi menjadi dua macam, yaitu pengetahuan yang bersifat inderawi dan pengetahuan yang bersifat rasional. Pengetahuan inderawi hanya memahami bentuk lahir dari segala sesuatu. Ia terdapat pada hewan dan manusia. Sedangkan pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang dapat menembus hakikat segala sesuatu. Pengetahuan ini hanya ada pada diri manusia.13
8. Tentang
Tidur dan Mimpi
Al-Kindi mendefinisikan tidur sebagai berikut:
“Tidur adalah membiarkan penggunaan jiwa untuk semua alat indera. Jika kita tidak melihat, tidak mendengar, tidak meraba, dan sebagainya, tanpa sebab penyakit yang biasa dan kita dalam keadaan normal, maka kita disebut sedang tidur”
Tidur sangat bermanfaat bagi manusia dan hewan karean tidur mempengaruhi anggota tubuh untuk tidak bergerak, membuat pencernaan berfungsi penuh untuk mencerna dan memberi kesempatan badan menyerap makanan yang masuk ke dalamnya serta membantunya menghilangkan kelelahan.
Sedangkan mimpi menurut beliau adalah proses pemanfaatan pikiran oleh jiwa dan proses peniadaan pemanfaatan pikiran oleh indera. Jika manusia tertidur pulas dan fungsi inderanya beristirahat, maka semua hal yang masuk ke dalam pikiran pada saat tidur gambarannya yang bersifat inderawi akan muncul di dalam fantasi (al-Quwwah al-Mushawwarah) dan gambaran inderawi ini akan tampak lebih nyata dan lebih kuat dibanding ketika sadar. Lalu darinya muncul mimpi dan angan-angan.
Al-Kindi berbicara tentang empat masalah mimpi dan menafsirkan sebab-sebab terjadinya. Empat macam mimpi ini adalah:
a. Al-Ru’yâ al-Tanbi’iyyah, yaitu mimpi di mana orang melihat segala sesuatu yang belum terjadi.
b. Al-Ru’yâ al-Ramziyyah, yaitu mimpi di mana orang melihat segala sesuatu yang menunujukkan atas sesuatu yang lain atau melambangkan sesuatu yang lain.
c. Mimpi di mana orang melihat sesuatu yang menunjukkan atas kebalikannya.
d. Mimpi di mana orang melihat sesuatu yang tidak benar.
Al-Kindi mendefinisikan tidur sebagai berikut:
“Tidur adalah membiarkan penggunaan jiwa untuk semua alat indera. Jika kita tidak melihat, tidak mendengar, tidak meraba, dan sebagainya, tanpa sebab penyakit yang biasa dan kita dalam keadaan normal, maka kita disebut sedang tidur”
Tidur sangat bermanfaat bagi manusia dan hewan karean tidur mempengaruhi anggota tubuh untuk tidak bergerak, membuat pencernaan berfungsi penuh untuk mencerna dan memberi kesempatan badan menyerap makanan yang masuk ke dalamnya serta membantunya menghilangkan kelelahan.
Sedangkan mimpi menurut beliau adalah proses pemanfaatan pikiran oleh jiwa dan proses peniadaan pemanfaatan pikiran oleh indera. Jika manusia tertidur pulas dan fungsi inderanya beristirahat, maka semua hal yang masuk ke dalam pikiran pada saat tidur gambarannya yang bersifat inderawi akan muncul di dalam fantasi (al-Quwwah al-Mushawwarah) dan gambaran inderawi ini akan tampak lebih nyata dan lebih kuat dibanding ketika sadar. Lalu darinya muncul mimpi dan angan-angan.
Al-Kindi berbicara tentang empat masalah mimpi dan menafsirkan sebab-sebab terjadinya. Empat macam mimpi ini adalah:
a. Al-Ru’yâ al-Tanbi’iyyah, yaitu mimpi di mana orang melihat segala sesuatu yang belum terjadi.
b. Al-Ru’yâ al-Ramziyyah, yaitu mimpi di mana orang melihat segala sesuatu yang menunujukkan atas sesuatu yang lain atau melambangkan sesuatu yang lain.
c. Mimpi di mana orang melihat sesuatu yang menunjukkan atas kebalikannya.
d. Mimpi di mana orang melihat sesuatu yang tidak benar.
9. Tentang
Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam pandangan al-Kindi bukanlah dengan mencapai keinginan dan kesukaan yang bersifat inderawi, duniawi, dan artifisial. Tetapi kebahagiaan diperoleh melaui pencapaian keinginan dan kesukaan yang bersifat rasional, baik dalam meneliti, memikirkan, membedakan, dan mengenalkan hakikat segala sesuatu
Kebahagiaan dalam pandangan al-Kindi bukanlah dengan mencapai keinginan dan kesukaan yang bersifat inderawi, duniawi, dan artifisial. Tetapi kebahagiaan diperoleh melaui pencapaian keinginan dan kesukaan yang bersifat rasional, baik dalam meneliti, memikirkan, membedakan, dan mengenalkan hakikat segala sesuatu
DAFTAR PUSTAKA
George N. Atiyeh, Rawalpindi. AL-KINDI (Tokoh Filosof Muslim). 1966.
Bandung : pustaka.
Dr.Daudy,
Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. 1992. Jakarta
: PT. Bulan dan Bintang.
Madjid,
Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam.
1994. Jakarta : Bulan Bintang.
Label: Tokoh Filosof Muslim
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda