MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF MEANINGFUL INSTRUCTIONAL DESIGN (C-MID)
MAKALAH
MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF MEANINGFUL INSTRUCTIONAL DESIGN (C-MID)
Makalah
Ini di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Dosen
: Widodo Winarso, M.Pd.I
Mata
Kuliah : Model Pembelajaran
Di
Susun Oeh
Ulin Na’mah
(141010150118)
Jurusan
: Tarbiyah / Matematika_C / 5
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Proses pembelajaran saat ini kurang memiliki daya tarik.
Kurang menariknya pembelajaran karena 2 hal. Pertama, pembelajaran yang dirancang oleh pembelajar tidak dapat memacu
keingintahuan pebelajar untuk membedah masalah seputar lingkungan sosialnya
sekaligus dapat membentuk opini pribadi terhadap masalah tersebut. Kedua, pembelajar memposisikan diri
sebagai pribadi menggurui pebelajar, belum memerankan diri sebagai fasilitator
yang membelajarkan pebelajar.
Sistem pembelajaran mesti didesain sedemikian rupa agar
pebelajar dapat bekerja secara kolaboratif dalam memecahkan masalah nyata
kehidupan masa kini. Sistem pembelajaran harus didesain agar pebelajar mampu
berpikir kritis, memecahkan masalah, mandiri. Pengembangan kemandirian,
kemampuan mengolah informasi, dan kemampuan untuk terus mengembangkan diri akan
lebih optimal bila dilakukan secara kolaborasi.
Proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep
atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep
untuk menghasilkan pemahaman yang utuh sehingga konsep yang dipelajari akan
dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi
pembelajaran bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali
konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dan membantu memadukannya secara
harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan.
Jadi belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang
dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya
mendengarkan orang atau guru menjelaskan.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
Konsep/Pengertian dari Pembelajaran Kooperatif Meaningful Instructional Design
(C-MID) ?
2.
Bagaimana
Langkah-Langkah Secara Umum dari Pembelajaran Kooperatif Meaningful
Instructional Design (C-MID) ?
3.
Bagaimana penerapan pembelajaran
Kooperatif Meaningful Instructional Design (C-MID) dalam Mata Pelajaran
Matematika bahasan Pengukuran?
C. TUJUAN
1.
Mengetahui Konsep dari Kooperatif
Meaningful Instructional Design
(C-MID), sehingga nantinya bisa digunakan dalam prose belajar mengajar.
(C-MID), sehingga nantinya bisa digunakan dalam prose belajar mengajar.
2.
Mengetahui langkah-langkah secara
umum yang harus dilakukan dalam Pembelajaran Kooperatif Meaningful
Instructional Design (C-MID) tersebut.
3.
Mengetahui bagaimana penerapan
Model Pembelajaran Kooperatif Meaningful Instructional Design (C-MID) dalam
Mata Pelajaran Matematika bahasan Pengukuran.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Kooperatif
Pembelajaran
kooperatif adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan
kecakapan akademik, sekaligus keterampilan sosial termasuk interpersonal skill
(Yatim Riyanto, 2010). Definisi pembelajaran kooperatif digambarkan sebagai
suatu “tatanan” dalam proses bermasyarakat yang saling membantu dan saling
berhubungan dalam rangka memenuhi mencapai suatu tujuan. Menurut (Evalina &
Hartini, 2010) kooperatif juga berarti bekerjasama utuk mencapai tujuan secara
efektif dan efesien.belajar kooperatif dapat membntu siswa dalam mendefinisikan
struktur motivasi dan organisasi untuk menumbuhkan kemitraan yang bersifat
kolaboratif (collaborative partnership).
Tiga
konsep yang melandasi metode kooperatif, yaitu:
a. Team
rewads.
Tim aka
mendapatkan hadiah bila mereka mencapai criteria tertentu.
b. Individual
accountability
Kberhasilan tim
bergantung dari hasil belajar individual dari semua anggota tim.
Pertanggungjawaban berpusat pada kegiatan anggota tim dalam membantu belajar
satu sama lain dan memastikan bahwa setiap anggota memastikan untuk kuis atau
penilaian lainnya tanpa bantuan teman sekelompoknya.
c. Equal
opportunities for success
Setiap siswa
memberikan kontribusi kepada timnya dengan cara memperbaiki hasil belajarnya
sendiri yang terdahulu. Kontribusi dari semua anggota kelompok dinilai.
Ada lima prinsip yang mendasari
kooperatif, yaitu:
a. Saling
ketergantungan positif
Arti dari
ketergantungan dari hal ini adalah keberhasilan kelompok merupakan hasil kerja
keras seluruh anggotanya. Setiap anggota berperan aktif dan mempunyai andil
yang sama terhadap keberhasilan kelompok.
b. Tanggung
jawab perseorangan
Tanggung jawab
perseorangan muncul ketika seorang anggota kelompok bertugas untuk menyajikan
yang terbaik dihadapan guru dan teman sekelas lainnya. Anggota yang tidak
betugas dapat melakuakan pengamatan terhadap situasi kelas, kemudian mencatat
hasilnya.
c. Interaksi
tatap muka
Tatapan muka
merupakan satu kesempatan yang baik bagi anggota kelompok untuk berinteraksi
memecahkan masalah bersama, disamping membahas materi pelajaran. Anggota
dilatih untuk menjelaskan masalah belajar masing-masing, juga diberi kesempatan
untuk mengajarkan apa yang dikuasainya kepada teman satu kelompok.
d. Komunikasi
antar anggota
Model belajar
kooperatif juga menghendaki agar para anggota dibekali dengan berbagai
keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa kedalam kelompok, pengajar
perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Keberhasilan suatu kelompok juga
tergantung pada kesediaan anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan
mereka untuk mengutarakan pendapatnya. Setiap siswa memperoleh kesempatan berlatih
mengenai cara-cara berkomunikasi secara efektif seperti bagaimana pendapat
orang lain tanpa menyinggung perasaan orang tersebut.
e. Evaluasi
proses secara kelompok
Siswa perlu
menilai bagaimana mereka bekerja secara efektif.
2. Model Pembelajaran MID (Meaningful
Instructionnal Design)
Model Pembelajaran MID (Meaningful
Instructionnal Design). Model ini adalah pembelajaran yang mengutamakan
kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka
kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis.
Sintaknya adalah
1.
Lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan
pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide;
2.
Reconstruction melakukan fasilitasi pengalaman belajar;
3.
Production melalui ekspresi-apresiasi konsep.
·
Belajar yang dilandasi kognitivisme
dan konstruktivisme
Dalam hal ini memang agak sulit
untuk membedakan secara jelas antara praktek belajar dan pembelajaran yang
dilandasi paham kognitivismedengan paham konstruktivisme karena kedua
kesinambungan tersebut. Seperti yang diungkap aliran konstruktivisme yang
sebenarnya berbasis kognitivisme, belajar adalah suatu proses aktif menyusun
makna melalui setiap interaksi dengan lingkungan dengan membangun hubungan
antara konsepsi yang dimiliki dengan fenomena yang telah dipelajari. Namun
tidak boleh diabaikan bahwa ada sejumlah ahli yang menganggap adanya sikap khas
dari belajar menurut konstruktivisme dan berbeda dari aliran koginitivisme. Ini
di ungkap oleh para ahli yang cenderung menempatkan Jean Peaget sebagai pelopor
aliran kognitivisme, misalnya para ahli yang banyak megembangkan teori scaffolding. Konsepsi awal pada
hakikatnya adalah skema atau struktur kognitif awal yang telah dimiliki siswa
sebelum mengikuti pembelajaran secara formal, sebagai hasil pengalaman tatap
muka dengan guru. Seringkali konsepsi siswa sering tidak cocok, tidak konsisten
dengan konsepsi ilmuan yang disampaikan oleh guru atau yang dibacanya dari
buku-buku dan majalah ilmiah. Maka terjadilah miskonsepsi, pre-konsepsi atau
bingkai kerja alternative (alternative
framework). Miskonsepti ini meranggsang timbulnya apa yang disebut
disonansi kognitif, terjadi ketidakseimbangan (disekuilibrium) dan melalui
perubahan strukturnya kognitifnya, menurut pieget, harus dicapaikeadaan
ekuilibrium elalui proses yang disebut ekuilibrisasi. Untuk mencapai
ekuilibrisasi itu agar terjadi bentuk struktur kognitif yang baru maka siswa
harus belajar.
·
Meaningful Learning (Belajar
Bermakna)
Dalam belajar bermakna ada dua hal
yang penting yang harus diperhatikan. Pertama, karakteristik bahan yang
dipelajari. Kedua adalah struktur
kognitif individu pembelajar. Bahan baru yang akan dipelajari tentu saja akan
mengubah struktur kognitif siswa haruslah bermakna, artinya dapat berwujud
istilah yang memiliki makna, konsep-konsep yang bermakana atau hubungan antara
dua atau lebih konsep yang memiliki makna. Selanjutnya bahan baru yang akan
dipelajari hendaknya dihubungkan dengan struktur kogntif siswa secara
subtansial dan beraturan. Subtansial artinya bahan yang dihubungkan harus
sejenis atau sama subtansinya dengan yang sudah ada pada struktur kognitif.
Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat bahan tersebut
(karakteristik pengetahuan baru yang diperkenalkan pada pengetahuan siswa). Hal
lain yang menentukan adalah siswa harus memiliki kemauan untuk menggabungkan
konsep baru tersebut dengan strutur kognitifnya sendiri secara subtansial dan
beraturan pula.
Agar
pebelajar dapat memahami isi lebih bermakna, maka disarankan menggunakan
pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada masalah. Pebelajar difasilitasi
untuk dapat mengakses berbagai informasi (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap)
dalam rangka menyelesaikan masalah. Penyelesaian masalah tersebut menggunakan
berbagai sumber daya informasi, misalnya media cetak, media audio, media audio
visual, multimedia, internet, dan teknologi terpadu. Hal ini berbeda dengan
pengembangan pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, pengembangan
pembelajaran diarahkan pada penyelesaian tugas atau penguasaan pengetahuan
secara sistematik (bagian demi bagian secara terpisah). Teori Behavioristik
menekankan pada subskill yang diajarkan.
Pembelajaran lebih ditekankan pada kontek dan pemahamam
individu yang lebih bermakna (meaningful).
Agar pebelajar dapat memahami isi lebih bermakna, maka disarankan menggunakan
pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada masalah. Pebelajar difasilitasi
untuk dapat mengakses berbagai informasi (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap)
dalam rangka menyelesaikan masalah. Penyelesaian masalah tersebut menggunakan
berbagai sumber daya informasi, misalnya media cetak, media audio, media audio
visual, multimedia, internet, dan teknologi terpadu. Hal ini berbeda dengan
pengembangan pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, pengembangan
pembelajaran diarahkan pada penyelesaian tugas atau penguasaan pengetahuan
secara sistematik (bagian demi bagian secara terpisah).
Pembelajaran bermakna memiliki
kondisi-kondisi sebagai berikut:
1.
Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan-bahan baru dengan
bahan-bahan lama.
2.
Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan
bahan lama.
3.
Lebih dahulu memberikan ide yang paling umum kemudian
hal-hal yang lebih terperinci
4.
Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya
sebelum ide yang baru disajikan.
Langkah-langkah
kegiatan yang mengarah pada timbulnya pembelajaran bermakna adalah sebagai
berikut:
1.
Orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi
akademik, melainkan juga diarahkan untuk mengembangkan sikap dan minat belajar
serta potensi dasar siswa.
2.
Topik-topik yang dipilih dan dipelajari didasarkan pada
pengalaman anak yang relevan. Pelajaran tidak dipersepsi anak sebagai tugas
atau sesuatu yang dipaksakan oleh guru, melainkan sebagai bagian dari atau
sebagai alat yang dibutuhkan dalam kehidupan anak.
3.
Metode mengajar yang digunakan harus membuat anak terlibat
dalam suatu aktivitas langsung dan bersifat bermain yang menyenangkan.
4.
Dalam proses belajar perlu diprioritaskan kesempatan anak
untuk bermain dan bekerjasama dengan orang lain.
5.
Bahan pelajaran yang digunakan hendaknya bahan yang konkret.
Dalam menilai hasil belajar siswa,
para guru tidak hanya menekankan aspek kognitif dengan menggunakan tes tulis,
tetapi harus mencakup semua domain perilaku anak yang relevan dengan melibatkan
sejumlah alat penilaian.
·
Instruksianal
Design
Istilah intruksional berasal dari
kata instruction. Ini bisa berarti
pengajaran, pelajaran, atau bahkan perintah atau instruksi. Webster Thirt
International Dictionary of the English Langue mencantumkan kata instructional
dari (kata to instruct) dengan arti memberikan pengetahuan atau informasi
khusus dengan maksud melatih berbagai bidang kasus, memberikan keahlian atau
pengetahuan dalam berbagai bidang kasus, memberkan keahlian atau pengetahuan
dalam berbagai bidang seni atau spesialisasi tertentu. Disini juga dicantumkan
makna lain yang berkaitan dengan komando atau perintah.
Didalam dunia pendidikan, kata
instructional tidak diartikan perintah, tetapi lebih mendekati arti yang
pertama, yakni pengajaran dan atau pelajaran. Bhkan belakangan ini kata
tersebut diartikan sebagai pembelajaran. (Pawit M. Yusuf, 2010).
Dalam
pandangan konstruktivisme, generalis ahli ID yang dapat bekerja dengan bidang
keahlian dari berbagai disiplin adalah mitos. Pengembang perlu lebih dulu
memahami “proses pengembangan” pembelajaran sebelum melakukan kegiatan
pengembangan pembelajaran. Jika pengembang melibatkan tenaga ahli, maka
diutamakan mereka yang memahami hal-hal berikut, yakni
(1) menguasai isi bidang studi,
(2) memahami
kontek pengembangan,
(3) memiliki
keterampilan dalam mendesain dan mengembangkan pembelajaran, dan
(4) memiliki
kewenangan untuk mengabil keputusan dalam bidang pembelajaran. Dalam
pengembangan pembelajaran yang berpijak pada teori behaviristik, ahli yang
memiliki pengetahuan khusus, sangat diperlukan untuk mengembangan pembelajaran.
3. Kelebihan dan kekurangan Model C-MID
·
Kelebihan
Ø
Sebagai jembatan menghubungkan
tentang apa yang sedang dipelajari siswa.
Ø
Mampu membantu siswa untuk
memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Ø
Membantu siswa untuk mengembangkan
pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap
Ø
Membantu siswa membentuk,
mengubah, diri atau mentransformasikan informasi baru.
Ø Informasi yang dipelajari secara
bermakna lebih lama dapat diingat.
Ø Informasi yang dipelajari secara
bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang
mirip.
Ø Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah
belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.
·
Kekurangan
Ø
Guru merasa kesulitan
contoh-contoh konkrit dan realistic.
Ø
Karena ini membentuk suatu
kelompok maka hal sering terjadi adalah mengandalkan siswa yang pintar
4.
Contoh
Setting Pembelajaran Matematika dengan Model Cooperatif Meaningful
Instructional Design (C-MID) “Pengukuran”
Anne Hendry seorang guru
berpengalaman di daerah pedalaman sebelah barat Massachusetts, USA menjelaskan
cara ia mengajarkan konsep “pengukuran” dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme saat sebelum musim Thanksgiving
tiba.
Sebelum
kelas dimulai saya pindah-pindahkan kursi dan dengan menggunakan pita, saya
membuat outline berbentuk kapal
laut di lantai kelas berukuran 16 kaki x 6 kaki, yang merupakan kapal yang
akan digunakan untuk berlayar ke rumah Raja. Saya juga menyiapkan gulungan
surat untuk dibaca oleh para siswa serta menempelkannya di papan buletin
dengan topik pembicaraan tentang pengukuran.
Saya
memilih salah seorang siswa dan menginstruksikan kepadanya bahwa dalam
pembelajaran matematika ia harus menjadi utusan raja membawa maklumat (Edict) dan diminta mengumumkannya
“Kapal pesiar ini tak akan berangkat berlayar ke rumah sang Raja, sampai kamu
dapat menceritakan seberapa besar kapal itu”.
Kemudian
para siswa berteka-teki. Saya mengatakan kepada para siswa: “Baiklah, apa
yang harus kita kerjakan? Siapa yang punya ide?”
Dengan
demikian diskusi tentang pengukuran dimulai, atau saya pikir ini akan bermula.
Namun ternyata, mereka diam cukup lama. Bagaimana seorang anak kecil akan
mengetahui tentang pengukuran? Apakah telah ada yang hadir dalam pengalaman
hidup mereka yang dapat mereka hubungkan dengan masalah ini? Saya lihat
mereka saling berpandangan satu dengan yang lainnya, saya dapat saksikan
bahwa mereka tidak punya ide dari mana harus dimulai.
Tentu
saya pikir harus ada sesuatu yang mereka dapat gunakan sebagai titik pangkal,
rujukan untuk memperluasnya. Seseorang selalu memiliki ide. Namun periode diam
terlalu lama menjadikan pelajaran semakin vakum. Kata Anne Hendry: “Mereka
saling berpandangan, kadang memandang Zeb, kadang pandangan ke arah saya”.
|
Untuk kebanyakan pendidik, tindakan Hendry
menghubungkan rencana pelajarannya di kelas dengan masa liburan mendatang
merupakan hal yang tak dapat dikecualikan. Namun mereka benar-benar heran pada
pilihan seorang guru yang sudah sangat berpengalaman ternyata kelasnya diam
begitu lama, serta heningnya kelompok siswa yang kebingungan di kelas.
Mengapa ia telah berikan tugas kepada kelas
I (Sekolah Dasar) tanpa menunjukkan bagaimana menyelesaikannya? Mengapa
bertanya terlebih dahulu sebelum menceritakan kepada seseorang apa yang mereka
perlu ketahui sebelum bisa menjawabnya? Bagaimana bisa seorang guru berpengalaman
membiarkan siswa dalam pelajarannya menjadi bimbang dengan cara seperti ini.
Kembali ke Hendry lagi:
Saya memiliki pikiran yang kedua tentang
luasnya masalah untuk kelas 1, manakala dengan malu-malu Cindy
mengacungkan tangan dan berkomentar: “Saya kira kapal itu panjangnya 3 kaki”.
Saya bertanya: “Mengapa?”. Cindy menjawab: “Sebab surat dari raja mengatakan
demikian”. Saya berkata: “Saya tak mengerti. Dapatkah kamu ceritakan kenapa
kapal itu panjangnya 3 kaki?” Cindy member alasan: “Sebab surat dari
Raja mengatakan demikian. Lihat! Saya akan tunjukkan padamu. Ketika surat itu
diangkat, diterawangkan menembus cahaya, memuat huruf E yang telah ditulis
untuk kata Edict, tampak seperti angka 3”.
Saya mengklarifikasi jawaban Cindy, untuk Cindy
dan kawan-kawannya yang setuju bahwa yang dilihat di kertas raja adalah 3.
Kalau begitu Raja telah mengetahui
jawabnya.
Kemudian kelas kembali ke periode diam.
|
Untuk mencari jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan guru, beberapa siswa mencari-cari suatu
bilangan, mencari sebarang bilangan untuk dikaitkan dengan konteks yang sedang
dibicarakan. Namun kebingungan Cindy telah dipecahkan. Tingkah laku Anne Hendry
tidak membingungkan para pembaca yang membayangkan bahwa pengajaran diturunkan
dari kelas matematika di mana mereka duduk sebagai siswa. Guru menjelaskan
kepada siswanya prosedur untuk mendapatkan jawaban yang benar, kemudian
memonitor kepada siswa bagaimana memproduksi prosedur tersebut. Menanyakan
pertanyaan tanpa sebelumnya menunjukkan kepada mereka bagaimana menjawabnya,
sebenarnya dipandang sebagai “tak adil”. Namun pembelajaran ini terjadi dengan
latar belakang pandangan konstruktivisme. Bagaimana belajar itu semestinya
terjadi? Apa makna dari matematika dan bagaimana implikasinya pada proses
pembelajaran matematika?
Sekarang perilaku Hendry
menjadi dapat dipahami. Sungguh suatu gambaran yang pertama, memperkenankan
kita pada peluncuran suatu pengujian beberapa aspek tentang praktek-praktek
pembelajaran matematika yang diinformasikan melalui perspektif ini; kedua
pengujian tentang pengalaman guru untuk mengkonstruksi praktek yang demikian.
Kita buat suatu ringkasan
pengajaran Hendry tentang pengukuran. Penjelasan bahwa yang mereka pikirkan
sebagai angka 3 adalah benar-benar huruf E dalam kata Edict yang artinya maklumat.
Kemudian Tom mengangkat
tangannya dan berkata: “Ibu Hendry, saya tahu bahwa ukuran kapal ini tak
mungkin 3 kaki. Sebab seorang perawat
baru saja mengukur tinggi badanku minggu yang lalu dan mengatakan bahwa
tinggiku adalah 4 kaki, dan kapal itu jauh lebih
besar daripada badanku.”
|
Dari awal pengamatan Tom,
diskusi kita tentang pengukuran sebenarnya telah berlangsung. Sekarang para
siswa menyadari bahwa mereka mengetahui sedikit tentang pengukuran, secara
khusus dalam kaitannya tentang ukuran dirinya dan seberapa tinggi dan mereka
masing-masing.
Seseorang menyarankan: “Mari
kita lihat berapa kali panjang Tom-kah kapal kita ini?”. Kemudian Tom
mengukur menggunakan badan sendiri. Dia berbaring dan berdiri untuk
membandingkan berapa panjang kapal itu. Akhirnya siswa-siswa sampai kepada
suatu kesimpulan bahwa panjang kapal adalah 4 kali panjang Tom.
Anne bertanya: “Bagaimana kita
dapat menceritakan kepada Sang Raja? Padahal raja tidak mengetahui tingginya
Tom. Mengirim Tom ke rumah Raja adalah suatu penyelesaian yang mudah.
Sementara anak-anak yang lain protes bahwa mereka menghendaki agar Tom harus
bersama-sama mereka di atas Kapal untuk mengikuti Wisata.
|
Sebenarnya Anne Hendry sangat berharap agar mereka
dapat menghubungkan informasi yang telah disampaikan kepada kita tentang
ukuran-ukuran yang ada. Saya berfikir barang kali ada siswa yang menambahkan 4
kaki sebanyak empat kali dan menyajikannya kepada kita sebagai penyelesaian
yang cepat dan tepat. Namun ternyata bukan itu yang mereka ambil.
Mark mengacungkan tangannya dan
menyarankan bahwa kita dapat mengukur panjang kapal menggunakan tangan kita
sebagaimana ia lakukan terhadap seekor kuda. Tetangga Mark mempunyai kuda
yang tingginya 15 tangan (minggu sebelumnya ia
mengukur tinggi kuda tetangga). Sehingga kita dapat bercerita kepada Raja
bahwa kapal ini sekian “tangan”. Para siswa setuju ini mungkin cara yang
terbaik.
Saya
mengatakan: “Baiklah. Karena ini adalah ide Mark, maka Mark diminta mengukur
besarnya kapal itu menggunakan tangan Mark. Perlu diingat bahwa Mark adalah
anak yang terbesar di kelas”.
Mula-mula Mark secara acak menempatkan
tangannya di atas pita (desain kapal itu) dari satu ujung ke ujung lainnya,
namun ketika ia mengecek ulang terdapat perbedaan hasil. Para siswa
berteka-teki kenapa ini terjadi. Ini memerlukan beberapa kali dan banyak
diskusi sebelum sampai kepada suatu kesimpulan penting. Para siswa menetapkan
bahwa perlu bagi Mark untuk menyakinkan bahwa ia telah memulai mengukur tepat
pada ujung kapal dan jangan sampai ada celah ataupun tumpang tindih setiap
kali ia ukur antara jempol dan kelingking yang ia tempatkan pada pita. Menggunakan cara ini ia dapatkan bahwa panjang kapal adalah 36
tangan.
Saya
berkata: “Bagus! Kita pikirkan untuk menceritakan kepada sang Raja. Namun
harus diingat bahwa kita mempunyai siswa terkecil yaitu Susi di kelas ini.
Susi diminta mengukur kapal untuk sisi kapal yang lain dan diperoleh ukuran
44 tangan.”
Sekarang
mereka menjadi bingung kenapa hasilnya berbeda-beda?
Saya
bertanya: “Dapatkah kita menggunakan tangan untuk mengukur?”
Siswa
menjawab: “Tidak.”
Para
siswa memutuskan: “Ini tak akan bisa bekerja sebab ukuran tangan setiap anak
berbeda-beda.”
Ali menyarankan untuk menggunakan kaki. Kita
coba sekali lagi menggunakan kaki mereka. Ternyata kita temukan dua ukuran
yang berbeda. Saat ini mereka mulai sedikit menyimpang untuk membandingkan
panjang tangan seseorang dengan tangan orang lain di antara mereka, panjang kaki
seseorang dengan panjang kaki orang lain. Kaki siapa yang terbesar dan kaki
siapa yang terkecil, tangan siapa yang terpendek dan tangan siapa yang
terpanjang?
|
Akhirnya diskusi kita
lanjutkan sementara para siswa mengeksplorasi bermacam-macam konsep dan ide Joan duduk dan memegang
penggaris, namun untuk suatu alasan tidak disarankan menggunakan penggaris.
Barangkali pengalaman menggunakan penggaris terbatas dan rupanya kurang yakin
bagaimana memakainya. Dilema ini berlangsung sampai
hari berikutnya ketika para siswa “merakit” lagi diskusi masalah itu dengan
pandangan baru.
Seorang anak menyarankan bahwa karena Zeb
diketahui Raja dan setiap orang di sini mengetahui Zeb, kita harus gunakan
kaki Zeb. “Ukurkan kaki Zeb di atas kertas dari ukurlah segala sesuatu
menggunakan kaki Zeb ini.”
Menggunakan bentuk ukuran ini
para siswa mengkaitkan dengan Raja bahwa kapal ini panjangnya 24 kaki Zeb dan lebarnya 9
kaki Zeb.
|
Keingintahuan bermula untuk mendapatkan cara
yang paling baik dan para siswa melanjutkan untuk mengeksplorasi bentuk
pengukuran ini dan menetapkan untuk saling mengukur, mengukur kelas, mengukur
meja, mengukur karpet menggunakan model “Kaki Zeb”. Saya biarkan mereka
meneliti ide mereka dengan melakukan aktivitas-aktivitas pengukuran pada sisa jam pelajaran hari
itu. Sampai pada hari ketiga saya menanyakan kepada
siswa mengapa mereka berfikir bahwa ini penting untuk mengembangkan bentuk
standar dari pengukuran.
Seperti halnya penggunaan
“Hanya dengan kaki Zeb” untuk rnengukur segala sesuatu. Melalui diskusi
beberapa hari siswa dapat menginternalisasikan dan memverbalkan suatu
keperluan atau kepentingan untuk setiap orang dalam mengukur menggunakan
instrumen yang sama. Mereka melihat kebingungan menggunakan tangan yang
berbeda-beda, badan atau kaki yang berbeda-beda menyebabkan hasil yang
beda-beda pula, dikarenakan ukuran yang tidak konsisten.
Hendry melanjutkan dalam
menjelaskan bagaimana ia sampai kepada sebuah eksplorasi memakai penggaris
dengan mengadopsi satuan-satuan pengukuran yang konvensional. Namun beberapa
aspek penting dari pembelajarannya telah ada pada kita. Di sini kita tidak melihat bagaimana
Hendry terikat pada tingkah laku pembelajaran tradisional yang paling umum,
yaitu: memberikan pengarahan dan menawarkan penjelasan, melainkan kita amati
pertanyaannya kepada siswa dan pertanyaan-pertanyaan yang kadang-kadang merupakan pertanyaan kecil. Ketika mereka sampai kepada
suatu kesimpulan, lebih sering mereka tidak mendapat penjelasan, ketimbang
penerangan atau suatu ramalan dan kebingungan.
Hal penting dari pandangan
ini bahwa: Maternatika adalah suatu temuan manusia dalam koridor sejarah yang
panjang, secara budaya terpancang di sekolah-sekolah dalam lomba “berfikir” perubahan
pola-pola dan beberapa pertanyaan mungkin tak terpecahkan.
Pertanyaan-pertanyaan atau
pernyataan-pernyataan penting yang “menyetir” pembelajaran Anne Hendry
menggunakan pendekatan konstruktivisme antara lain:
a.
Apa yang harus kita kerjakan?
b.
Siapa yang punya ide?
c.
Mengapa?
d.
Saya tidak tahu.
e.
Dapatkah kamu ceritakan mengapa
panjang kapal itu 3 kaki?
f.
Bagaimana kita ceritakan itu
kepada Raja, padahal Raja tidak mengetahui Tom?
g.
.............
dan semacamnya.
Jelas sekali bahwa yang menjadi
pusat pembelajaran dari Hendry bukanlah masalah yang ia ajukan kepada siswa,
bukan pula pertanyaan spesifik yang ia berikan, namun sifat-sifat mencari
keterikatan para siswa dalam diskusi dan kelihaian membimbing para siswa.
Praktek dari Hendry tidak dapat ditulis atau dibuat skripnya (naskahnya).
Tergantung kepada kemampuan guru menjawab secara spontan terhadap kebingungan
dan penemuan siswa. Evaluasi pembelajaran terjadi sepanjang proses negosiasi
dan sepanjang proses pembelajaran berlangsung.
BAB III
PENUTUP
Seorang guru dapat belajar dari para
siswa di kelasnya tentang cara-cara yang dapat dilakukannya untuk membantu
siswanya belajar. Hal tersebut dapat terjadi hanya jika Bapak dan Ibu Guru mau
menggali, menyelidiki lebih jauh, serta mau mendengarkan dengan tekun
jawaban-jawaban mereka. Belajar hafalan akan terjadi jika para siswa tidak
mampu mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama. Tugas
gurulah untuk memberi kemudahan bagi para siswanya sehingga mereka dapat dengan
mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan barunya dengan pengetahuan yang
sudah ada di dalam pikirannya. Belajar seperti itulah yang kita harapkan dapat
terjadi di kelas-kelas di Indonesia, belajar bermakna yang telah digagas David
P. Ausubel.
DAFTAR PUSTAKA
Riyanto,
Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran.
Cet. ke-2. Jakarta : Kencana
Budianingsih,
C. Asri. 2012. Belajar dan Pembelajaran.
Cet. Ke-2. Jakarta : Rineka Cipta.
M.
Yusuf, Pawit. 2010. Komunikasi
Instrucsional. Jakarta : Bumi Aksara.
Evalina
& Hartini. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor : Ghalia Indonesia.
Sumani
, Mukhlas. 2011. Belajar dan Pembelajaran.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Label: Model Pembelajaran
1 Komentar:
maaf, boleh bagi referensi mengenai model pembelajaran MID ka? untuk bahan skripsi.. terimakasih :)
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda